Gerindrasumut.id | Medan Senin 22 Desember 2025, Wakil Walikota Medan sekaligus tokoh politisi Gerindra, Zakiyuddin Harahap, memberikan pernyataan komprehensif terkait penanganan pasca-banjir yang melanda wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.
Dalam sesi wawancara yang berlangsung di Sanur Coffee, Jalan Gurilla,pria yang akrab disapa Bang Zaki ini membedah akar permasalahan banjir dari sisi kebijakan hingga perilaku sosial masyarakat.
Prioritas Bantuan Aceh Tamiang: Masalah Kemanusiaan di Atas Batas Wilayah
Membuka perbincangan, Zaki mengklarifikasi alasan penyaluran bantuan yang masif ke wilayah Aceh Tamiang.
Menurutnya, hal ini didasari pada kondisi kelumpuhan total yang dialami kabupaten tersebut dibandingkan daerah lain seperti Tapsel atau Sibolga.
”Di Aceh Tamiang, pemerintahannya pun padam. Listrik satu kabupaten mati total. Jika tidak ada bantuan, mereka selesai. Jangankan tatanan kabupaten, masalah makan dan air bersih saja susah. Kenapa lewat Medan? Karena aksesnya lebih dekat dan gampang. Ini bukan soal provinsi ke provinsi, tapi soal kecepatan menyelamatkan nyawa,” tegas Zaki.
Ia juga mengapresiasi bantuan dari berbagai pihak, termasuk kader Gerindra dan NGO UEA yang kini disalurkan oleh Muhammadiyah, sembari menekankan agar publik berhenti berpolemik mengenai teknis distribusi.
“Intinya bantuan sampai tepat sasaran. Jangan tidak bantu orang, tapi asyik mengejek saja. Fokus kita adalah membantu yang terdampak.” Ujar Zaki.
Kritik Tajam Okupansi DAS dan Mandeknya Normalisasi
Zaki tidak menahan diri saat mengkritik kondisi sungai di Medan yang kian memprihatinkan. Ia menyebut bahwa bencana yang terjadi merupakan momentum introspeksi atas “ulah manusia” atau oknum-oknum tertentu.
”Khusus Kota Medan, saya berharap BWS (Balai Wilayah Sungai) harus bergandengan tangan untuk menormalisasi sungai. Sejak zaman Bachtiar Jafar sampai saat ini, belum ada normalisasi sungai yang signifikan. Akibatnya, sungai semakin dangkal dan mengecil,” ujarnya.
Ia menyoroti pelanggaran aturan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kian ekstrem. Zaki memaparkan bahwa sempadan sungai yang seharusnya kosong sejauh 15 meter, kini justru dipadati bangunan liar hingga ke atas aliran air.
“Ada sungai yang tinggal 2 meter karena dapur orang itu sudah di sana. Begitu mau digusur, pemerintah dibilang kejam. Padahal, mereka yang menutup akses itu, mereka yang sebenarnya kejam kepada 2 juta warga medan lainnya. Alat berat tidak bisa masuk untuk bekerja karena kiri-kanan sudah jadi rumah,” tegasnya.
Pola Banjir Berulang: Target Pembenahan 2026
Menilik data historis, Zaki menyoroti kebetulan yang mengkhawatirkan, banjir besar terjadi pada tanggal 27 November selama dua tahun berturut-turut (2024 dan 2025). Ia menegaskan bahwa tahun 2026 tidak boleh ada lagi pembiaran.
”Tahun ini kita harus fokus membenahi sungai. Kita harus berkoordinasi dengan BWS, Pemprovsu , dan Pemkab Deli Serdang karena aliran air ini saling melewati batas wilayah. Kita harus jaga-jaga, tahun 2026 bukan tidak mungkin terjadi lagi jika kita tidak duduk bersama menyelesaikan normalisasi ini sekarang,” ucap Zaki.
Imbauan Mentalitas Masyarakat: “Jangan Hanya Menuntut”
Sebagai penutup, Wakil Walikota ini memberikan imbauan keras kepada masyarakat Kota Medan mengenai budaya kebersihan. Ia menyayangkan perilaku warga yang sengaja membuang sampah ke sungai dan parit pada waktu-waktu tersembunyi.
”Dinas Kebersihan sudah pasti andil, tapi masyarakat jangan hanya menuntut. Kita lihat saja setiap habis sholat subuh atau tengah malam, banyak yang naik motor lalu membuang sampah ke sungai. Kita ingin sungai kita indah dan bisa jadi transportasi air seperti di luar negeri, tapi melihatnya sekarang saja sudah ‘geli’ karena kotor,” ungkapnya miris.
Zaki mengajak seluruh warga untuk menghargai orang lain dengan tidak merusak fungsi sungai.
“Mari kita introspeksi. Bencana ini adalah teguran agar kita mulai menjaga alam, minimal dengan tidak membuang sampah ke sungai dan tidak mendirikan bangunan di bantaran,” pungkasnya
