Gerindrasumut.id | Padangsidempuan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru saja mengumumkan kebijakannya dengan mengalihkan Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank-bank umum. Kebijakan ini bukan sekadar perpindahan likuiditas, tetapi sebuah sinyal.
Dana sebesar ini tidak boleh lagi sekadar diparkir di instrumen aman seperti surat utang, melainkan harus disalurkan ke sektor swasta melalui kredit produktif.
Dari kacamata seorang bankir, saya melihat langkah ini sebagai “pintu baru” bagi perekonomian nasional. Bank didorong keluar dari zona nyaman mereka, dan swasta diberi peluang lebih besar untuk mengakses pembiayaan.
Namun, pintu ini tidak otomatis membawa manfaat. Siapa yang berani masuk dan menyambutnya, dialah yang akan meraih peluang emas.
Kebijakan pusat kerap terkesan berakhir hanya di lingkaran kota-kota besar dengan dana mengalir, tetapi berhenti di Jakarta atau kawasan industri mapan.
Inilah yang menjadi kekhawatiran saya tanpa kesiapan daerah, Rp200 triliun hanya akan jadi putaran angka di pusat, tanpa mengubah wajah ekonomi di Padangsidimpuan, Tapanuli, atau kota-kota lain.
Daerah tidak boleh pasif untuk bisa menarik aliran dana ini, pemerintah daerah harus mampu menawarkan keunggulan kompetitif.
Bentuknya bisa berupa keringanan pajak daerah, kepastian regulasi, birokrasi yang ringkas, hingga penyediaan lahan dan infrastruktur dasar. Singkatnya jadikan daerah sebagai magnet investasi, bukan sekadar tempat lewatnya dana.
Kredit Produktif, Bukan Sekadar LikuiditasEsensi kebijakan ini adalah menyalurkan kredit produktif. Itu berarti, dana harus mengalir ke sektor riil mulai dari UMKM, pertanian, industri kecil, perdagangan, hingga proyek-proyek strategis yang menciptakan lapangan kerja.
Sebagai mantan bankir, saya tahu ada kecenderungan bank bermain aman, menghindari risiko, dan lebih suka menempatkan dana pada instrumen yang pasti.Inilah tantangan besar bagaimana mendorong bank berani menyalurkan kredit, sekaligus memastikan bahwa penerima dana mampu mengelola pinjaman secara produktif.
Pemerintah daerah bisa mengambil peran di sini dengan mendampingi UMKM, memberi pelatihan, serta menjembatani kebutuhan kredit dengan dunia perbankan.Risiko Jika Daerah Hanya MenungguAda risiko besar bila daerah tidak berani bergerak.
Pertama, Rp200 triliun ini bisa kembali terjebak di lingkaran pusat, hanya memperkuat sektor finansial tanpa efek nyata di lapangan.Kedua, disparitas pembangunan akan semakin melebar antara pusat dan daerah. Ketiga, peluang menciptakan lapangan kerja baru akan hilang begitu saja.
Pertumbuhan 7–8 persen seperti target Presiden Prabowo tidak akan terwujud bila daerah hanya menjadi penonton, justru daerah harus jadi pemain utama, karena pertumbuhan sejati lahir dari bawah.Saya percaya, momentum ini adalah kesempatan langka.
Kebijakan Menkeu Purbaya bisa menjadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya jika daerah siap menyambutnya.Jangan biarkan dana jumbo itu hanya menjadi headline media, tanpa dampak nyata di pasar, sawah, atau warung kecil.Tugas kita adalah memastikan bahwa setiap rupiah yang digulirkan mampu menggerakkan roda ekonomi rakyat.
Daerah harus punya visi, strategi, dan keberanian seperti saya katakan sejak awal pintu besar sudah dibuka. Sekarang tinggal siapa yang berani melangkah masuk.
